Belajar Dari Sa’ad bin Abi Waqqash

Bagikan :

Sa’ad bin Abi Waqqash adalah orang ketiga yang memeluk Islam, dan orang pertama yang melepaskan anak panah dari busurnya di jalan Allah. Sa’ad dikenal karena ia adalah paman Rasulullah SAW.  Dan beliau sangat bangga dengan keberanian dan kekuatan, ia berasal dari suku Bani Zuhrah dari suku Quraisy,dan paman Nabi Muhammad dari garis pihak ibu Abdurrahman bin Auf.

Saad lahir dan besar di kota Mekkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang selalu membandingkannya dengan singa muda. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Mekkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Mekkah, Kepahlawanan Sa’ad bin Abi Waqqas tertulis dengan tinta emas saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.

Keislamannya termasuk cepat, karena ia mengenal baik pribadi Rasulullah SAW. Mengenal kejujuran dan sifat amanah beliau. Ia sudah sering bertemu Rasulullah sebelum beliau diutus menjadi nabi. Rasulullah juga mengenal Sa’ad dengan baik. Hobinya berperang dan orangnya pemberani. Sa’ad sangat jago memanah, dan selalu berlatih sendiri. Sa’ad sendiri secara tidak langsung memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah. Ibu rasul, Aminah binti Wahhab berasal dari suku yang sama dengan Saad yaitu dari Bani Zuhrah. Karena itu Saad juga sering disebut sebagai Sa’ad of Zuhrah atau Sa’ad dari Zuhrah, untuk membedakannya dengan Sa’ad-Sa’ad lainnya.

Namun keislaman Sa’ad bin Abi Waqqash mendapat tentangan keras terutama dari keluarga dan anggota sukunya. Ibunya bahkan mengancam akan bunuh diri. Selama beberapa hari, ibu Sa’ad menolak makan dan minum sehingga kurus dan lemah. Meski dibujuk dan dibawakan makanan, tetapi ibunya tetap menolak dan hanya bersedia makan jika Sa’ad kembali ke agama lamanya. Namun Sa’ad berkata bahwa meski ia memiliki kecintaan luar biasa pada sang ibu, tetapi kecintaannya pada Allah dan Rasulullah jauh lebih besar lagi.(Abi KaKA)