Kehidupan yang sesungguhnya

Bagikan :

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna. Dengan kehidupan ini manusia memiliki potensi yang dimiliki manusia mampu menciptakan (baca: menghasilkan) berbagai macam teknologi modern. Dengan segala kemampuannya manusia mampu menembus ruang angkasa yang jauh di sana atas kekuasaan Allah Yang Maha Mulia sebagaimana dalam firman-Nya, “Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan (teknologi)”. (QS al-Rahmân [55]: 33

Berkat karunia Tuhan manusia bisa memperoleh berbagai pengetahuan yang sangat berguna untuk kemaslahatannya di dunia. Dengan predikat taqwim (sebaik-baik ciptaan) yang ada padanya manusia berbeda dengan semua makhluk lain. Satu aspek penting yang membedakan manusia dengan yang lainnya adalah manusia dikaruniai akal sedangkan tidak demikian dengan makhluk lainnya. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan jika manusia harus memaksimalkan potensi otaknya untuk mengarungi lautan kehidupan di dunia yang fana ini. Dengan demikian kesempurnaan manusia sebagai hamba Tuhan terealisasi dan termanifestasi melalui berbagai macam prestise dan pencapaian yang diperoleh.

Sebagai khalifah di muka bumi (khalifatun fi al-ardh) ini tentu manusia memiliki tanggung jawab yang besar. Manusia-lah yang mengatur kehidupannya di dunia ini, mereka yang berusaha melestarikan alam, tetapi tidak sedikit juga yang malah melakukan kerusakan (fasad). Semua itu akan dipertanggungjawabkan di sisi Tuhan kelak pada waktu perhitungan amal. Sedangkan makhluk selain manusia bebas dari tanggung jawab karena mereka hidup di dunia tanpa karunia akal dan apa yang mereka lakukan adalah sesuai dengan kehendak Allah (dalam kendali-Nya). Oleh karena itu banyak manusia berfikir bagaimana hidup yang nikmat tapi mereka lupa bagaimana mati yang nikmat, Andaikata tidak ada hidup setelah mati, tidak ada tanggung jawab dibalik tindakan yang kita lakukan maka pasti kehidupan di dunia ini penuh dengan huru-hara, hampa dari kebenaran dan kebaikan. Namun karena pada hakikatnya manusia itu sadar akan tanggung jawab yang akan diperoleh di akhirat kelak maka dalam setiap perbuatannya, manusia memikirkan baik buruknya. Jika dinilai baik maka ia lakukan dan balasan kebaikan pula yang akan diperoleh dan sebaliknya jika dirasa buruk dan menimbulkan mudharat (bahaya) maka akan berusaha dijauhi dan ditinggalkan.