Oleh: Hasna Anggita Kelas 8F
Zahra, itu identitas namaku. Aku terlahir dari pasangan suku aceh dan mendiami provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aku tinggal bersama ayahku seorang diri di desa terpencil, ibuku meninggal saat aku berumur 8 tahun. Orang tuaku juga selalu mengabdikan diri mereka dengan budaya kuno miliknya. Secara pribadi, aku bukan orang yang bisa mengikuti keinginan kedua orang tuaku untuk melestarikan budaya kami. Tentu alasannya adalah karena minder dengan budaya daerahku. Entah kenapa terasa cukup kuno dan terlihat antik sekali. Itulah mengapa sampai sekarang aku memilih budaya Barat sebagai jalan hidupku.
“ Namun, Ayah! Aku tidak ingin mengikuti Ajang Budaya seperti itu!”
Malam yang begitu sunyi, namun rembulan dapat mencurahkan sinarnya untuk mengusir kegundahan langit sang malam.. disitu aku dan ayah sedang membicarakan topik yang terdengar tidak asik di pendengaranku.
“ Kenapa tidak ingin, Nak?” Ayah masih mencoba menenangi amarahku. Aku menatapnya kesal “Aku tidak ingin yah, budaya kita sudah begitu klasik nan antik, penonton pasti terlihat bosan dalam menonton ajang itu” jelasku jemu.. Ayah hanya memandangi raut wajahku sembari terkekeh.
“Tidak semua terlihat kuno sayang. Ayah yakin, ajang kali ini akan membuahkan hasil terbaik di sepanjang hayatmu,” ucap Ayah menganjurkan. Aku memanyunkan bibirku.
Kami mulai menghentikan topik obrolan kami, merasa tidak ada aktivitas lain. Kami memutuskan berpisah menuju alam bawah sadar.
Malam mulai berganti, sinar hangat mentari mulai memeluk seisi dunia, bagi orang- orang yang menunggunya.
“ Ayah, hari ini kita akan kemana?” tanyaku dengan rasa ingin tahu, hari ini adalah hari minggu. Bukan jadwalnya ayahku untuk pergi meladang di sawah. Waktu ini biasanya kami gunakan untuk merehatkan pikiran sejenak. Tentu aku juga merehatkannya pula dari tugas- tugas sekolah yang begitu menumpuk, namun ekspetasiku buyar melihat Ayah berpakaian rapi dan mengambil sepeda ontelnya.
“ Ayah akan mengantarmu ke Sanggar Tari yang Ayah kenal” jawabnya spontan, Aku terkejut, sebenarnya Aku sudah beranggapan bahwa Ayah begitu serius dengan perkataannya. Namun Aku tetap tidak setuju dengan itu.
Aku mendesah pelan, tak ada yang bisa kulakukan selain menuruti perintahnya. Aku mulai mempersiapkan diri dengan style ala orang barat.
Ayah yang memandangi penampilanku menunjukkan kerutan di dahinya. “ ganti pakaianmu, itu begitu terbuka” ucap Ayahku dengan intonasi yang cukup tinggi. Aku gelagapan buru- buru mengenakan pakaian yang selalu mendiang ibuku pakai.
Sekarang penampilanku jauh berbeda dari sebelumnya, aku memakai kain yang panjang, dan lengan yang cukup lebar. Namun pakaian ini tak mempersulit langkahku karena sengaja longgar. Ayah tersenyum puas “ Ayo, kita pergi sekarang” ucap ayah yang mulai menaiki sepeda ontelnya.
Pagi mulai petang, matahari semakin naik ke atas permukaan langit. Aku dan Ayahku baru saja sampai ke tempat tujuan. Dimana Sanggar tari itu berada.
Dari luar, penampilan cukup sederhana. Bahan dasar pembuatan sanggar tari itu adalah kayu jati yang kokok, dengan perpaduan tanaman yang merambat dari atas ke bawah. Menampakkan nuansa bahwa pemiliknya masih mempertahankan kesan budayanya sendiri.
“ Masuklah, Ayah akan menjemputmu nanti sore” tutur sang Ayah, mulai mengayuh sepeda ontelnya dan menjauh dari pandanganku. Akupun mulai melangkah masuk ke halamannya. Namun disambut oleh gelora suara yang cukup berisik namun intonasi yang berirama. Nyanyian pun terdengar jelas dari luar.
Salamualaikum kami ucapkan para undangan yang baru teka
Karena salam nabi khen sunat jaroe tamumat salam mulia.
Aku mulai menjejakkan kakiku ke sumber suara itu, yang aku temukan adalah segerombolan perempuan perempun berbaris ke belakang. Melentingkan kedua lengan mereka dengan kaki posisi duduk tegak.
“ Ini tari saman ya…” Aku bergumam sembari mengendap-endap untuk mengintip di balik tirai jendela yang besar, aku melihat mereka masih menyanyikan alunan musik yang menggema. Bait pertama sama seperti tadi. Namun tidak pada bait kedua.
Kemudian, mereka menampilkan gerakan yang cukup lincah. Dari tangan kiri di dada dan tangan kanan di atas paha, bunyi suara nyaring terdengar setelah mereka menepukkan punggung tangan mereka secara kompak.
Aku begitu takjub tatkala memandang tarian itu, sederhana dan tak perlu bersusah payah untuk menguasai sanggarnya, asal kompak. Sanggar juga akan terlihat meriah.
Mereka mulai mengakhiri pertunjukan mereka dengan waktu lebih dari 10 menit. Kemudian dilanjutkan tepuk tangan meriah dari mereka sendiri.
“ Lihatlah, sepertinya kita kedatangan anggota baru di sini” ucap salah satu perempuan dengan senyuman manisnya menatapku sedari tadi yang terus mengendap- endap. Aku merasa telah tertangkap basah mulai memberanikan diri untuk berada di hadapan mereka.
“ Maaf, aku tidak ada niatan untuk melihat kalian diam- diam. Sejujurnya aku merasa takjub melihat tarian kalian yang begitu kompak” Aku memuji.
Membuat beberapa orang disana tersenyum senang.
“ Aku juga ikut turut serta dalam ajang Budaya dua minggu ke depan. Mohon kerja samanya” tuturku membungkuk. Mereka yang mendengar penuturanku langsung bersorak senang.
“ Tidak perlu sungkan, kami belajar bersama juga kok. Anggap saja teman,” salah satu orang yang berada di barisan depan, dengan label nama Putri. Memberikan jempol kepadaku.
“ Baiklah, karena kau masih baru, kau tidak seharusnya bisa ikut dalam barisan kita karena masih belum bisa mencobanya. Ayo kawan, berikan contoh kembali untuk anggota baru kita yang bernama Zahra ini,” seru Putri mengisyaratkan temannya untuk memulai alunan musik Saman itu lagi.
Hari mulai silih berganti, rasa cinta Zahra dengan tari saman mulai meningkat pesat. Kini ia selalu melatih gerakannya di rumah, sampai ayahnya dibuat heran.
“ Tidak biasanya kau begini, Nak, apa kau salah makan” tanya ayah terheran heran. Zahra hanya menoleh dan tersenyum lebar. “ Ayah, Aceh dan budayanya terlihat begitu keren”
Ayah cukup terkejut mendengar penuturan Zahra “Nak, kau membuat perubahan yang begitu banyak” Ayah memelukku seketika. Aku hanya mengangguk dan membalas. “ Terima kasih Ayah, Ridho mu selalu ku impi-impikan”
“ Berapa hari lagi Ajang itu dimulai?”
“ Lusa.” Jawab Zahra mantap. Ayah tersenyum. “ Ayah jadi teringat dengan ibumu, dulu ia sangat menyukai tarian saman”
“ Kalau begitu, apakah beliau juga turut bahagia, ketika aku mempersembahkan tarian ini kepada bumi Indonesia?” tanya Zahra terharu. Zahra mendongakkan kepalanya keatas. Terbayang-bayang senyum ibunya.
“ Pasti, pasti ia akan bangga kepadamu” ucap sang Ayah yang diakhiri kecupan sayang di dahinya.
H-1, Zahra dan teman- temannya mengadakan perkumpulan untuk tema dan kostum yang akan mereka kenakan besok. “ Bagaimana jika kita mengenakan pakaian dari berbagai provinsi? Lagipula kit aitu 34 jumlahnya” usul Putri yang disetujui hampir semuanya. Lalu mereka mulai membagi desain kostum yang akan mereka jahit sendiri. “ Apa yang akan ku kenakan?”
“ daerah sini saja, Aceh. Lagipula mukamu juga khas sin ikan?” ucap Hanif dengan opini yang meyakinkan. Zahra mengangguk setuju. “ tapi, tema apa yang akan kita beri?” tanya Zahra yang membuat suasana menjadi hening. tidak ada usulan apapun selain jangkrik yang berbunyi.
Putri menjentikkan jarinya dengan tatapan penuh cahayanya.
“BUDAYA KITA, BUDAYA INDONESIA!!”
Hari ini adalah Hari H, dimana Zahra dan kawan kawannya akan tampil di acara besar yang mengundang sejumlah pejabat dari berbagai daerah.
Zahra terkikik geli melihat ayahnya berjalan kesana kemari sibuk mengurus perlengkapan untuk acara Zahra nantinya. “ Zahra! Apa kau sudah selesai?!” terdengar suara menggelegar di ruang tamu. “ Tidak lama lagi ayah!” jawab Zahra yang masih merias diri di kamarnya.
Merasa telah selesai mempersiapkan diri, Zahra mulai melangkah penuh percaya diri di hadapan ayahnya. “ kau terlihat mirip dengan ibumu” puji ayah terharu. Zahra terkekeh. “ ayo ayah, kita akan terlambat nanti”
Kami menyusuri rute menuju panggung Arena dengan mobil yang tlah disewakan oleh pemerintah setempat. aku hanya bisa gelagapan melihat mobil hitam mengkilap bersanding di teras halaman depan rumahku.
“ZAHRA! CEPAT, KITA SEBAGAI ACARA PEMBUKANYA!!” gelegar sudah suara Hanif, membuat seisi penumpang mobil merasa jenuh dengan suaranya.
“ Zahra, apa kau baik baik saja?” tanya putri sedikit khawatir dengan keadaan Zahra saat ini. Zahra hanya tersenyum. “ tidak, mungkin hanya gugup sedikit” komentarnya.
“Zahra!semangat! pasti acara ini akan semakin seru!!” pekik Hanif senang, namun Putri langsung mengisyaratkan diam dengan telunjuk dibibirnya. “ lihatlah! Acara sudah dimulai”
Deretan lampu sorot menyala, menyinari seutuh Panggung Arena dan sekian banyak penonton yang mengelilinginya. Dua Host yang menjadi Master of Ceremony bermunculan dari bawah panggung.
“ selamat malam para pemirsa yang turut serta hadir dalam Ajang Kebudayaan ini, hormat kami kepada para pemerintah yang bersedia hadir dalam acara ini. Langsung saja kita mulai dari Acara pertama. Yang dipersembahkan dari Provinsi Aceh. TARI SAMAN!!”
Tepuk tangan yang meriah menggema dari segala poenjuru, kami mulai bermunculan dari bawah panggung. Berpencar mencari posisi yang tlah ditentukan.
Kami mulai menyanyikan lagu yang akan kami persembahkan disana, mengayunkan kedua lengan keatas melentikkan ke sepuluh jari kami pula. Dan seketika alunan music berhenti. Kami memposisikan badan kami untuk bersiap pada puncak Acara.
Semua orang bersorak sorai melihat kami yang menari cukup lincak dan kompak, menepukkan kedua tangan kami berkali kali hingga menghasilkan suara nyaring yang menggema. Aku merasa puas tatkala melihat para penonton melihat kami seperti bintang yang menari.
Usai pertunjukan, kami bergegas menuruni panggung, dan disambut oleh ribuan wartawan yang mengerubungi. “ nona, anda menampilkan tarian yang begitu indah. Dan kostum kalian yang jumlahnya cukup beragam, apa tema yang kalian persembahkan pada malam hari ini”
Kami saling bertatapan kemudian, melempar senyum satu sama lain dan serempak menjawab tepat di depan mic wartawan.
“ BUDAYA KITA INDONESIA!!”